Bekasi, Selasa 11 Februari 2025 (Akurat, Berisi dan Berimbang) Sejumlah keluarga di Cluster Setia Mekar Residence 2, Kecamatan Tambun Selatan, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, harus merelakan rumah mereka digusur meski memiliki Sertifikat Hak Milik (SHM) yang masih sah. Penggusuran ini menyasar lima rumah milik Asmawati, Mursiti, Siti Muhijah, Yeldi, serta sebuah korporasi Bank Perumahan Rakyat (BPR). Selain itu, 27 bidang tanah lain di cluster tersebut juga turut digusur. Ironisnya, sertifikat hak milik para korban masih berlaku karena tidak ada putusan pengadilan yang membatalkannya.
Kasus ini menarik perhatian Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid, yang turun tangan untuk menyelesaikan masalah yang berakar dari sengketa tanah sejak 1973. Konflik ini bermula ketika Djuju, pemilik tanah seluas 3,6 hektar, menjual tanahnya kepada Abdul Hamid pada 1976 melalui Akta Jual Beli (AJB). Namun, Hamid tidak segera melakukan balik nama, sehingga Djuju memanfaatkan celah ini untuk menjual tanah yang sama kepada Kayat. Kayat kemudian membalik nama tanah tersebut, dan terbitlah sertifikat atas namanya dengan nomor 705, 706, 704, dan 707.
Asmawati, Yeldi, dan Mursiti, yang menjadi korban penggusuran, menduduki lahan dengan SHM nomor 706 yang diterbitkan pada 1982. Sertifikat ini berasal dari Kayat, yang dianggap sebagai pemilik sah berdasarkan proses balik nama. Namun, Mimi Jamilah, ahli waris Abdul Hamid, menggugat Kayat dengan alasan bahwa AJB antara Djuju dan Abdul Hamid pada 1976 batal karena Djuju membatalkan transaksi sepihak setelah Hamid gagal melunasi pembayaran.
Pada 2019, Mimi mengajukan eksekusi pengosongan lahan berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Bekasi nomor 128/PDT.G/1996/PN.BKS tanggal 25 Maret 1997. Putusan ini mengabulkan gugatan Mimi sebagai ahli waris Abdul Hamid, yang mengklaim sebagai pemilik sah tanah induk. Namun, eksekusi yang dilakukan ternyata salah sasaran. Kelima rumah yang digusur justru berada di luar lahan yang disengketakan, yaitu SHM 706, yang berasal dari lahan induk seluas 3,6 hektar dengan sertifikat nomor 325.
Nusron Wahid menegaskan bahwa penggusuran ini tidak seharusnya terjadi karena kelima rumah tersebut berada di luar area sengketa. "Setelah kami cek, ini di luar tanah yang disengketakan. Pengadilan tidak melibatkan BPN Kabupaten Bekasi saat proses eksekusi, sehingga terjadi kesalahan," ujar Nusron, seperti dikutip dari Kompas.com, Jumat (7/2/2025). Ia juga menegaskan bahwa kepemilikan tanah oleh kelima korban masih sah karena belum ada perintah pengadilan untuk membatalkannya.
Kasus ini menyoroti kompleksitas sengketa tanah yang melibatkan banyak pihak dan rentang waktu puluhan tahun. Para korban penggusuran, yang telah membeli tanah dengan sertifikat sah, kini harus menghadapi kenyataan pahit kehilangan rumah mereka. Menteri Nusron berjanji akan menindaklanjuti kasus ini untuk memastikan keadilan bagi para korban dan mencegah kesalahan serupa di masa depan.
Sementara itu, masyarakat setempat berharap pemerintah dapat memberikan solusi yang adil dan transparan, terutama dalam menyelesaikan sengketa tanah yang melibatkan sertifikat sah. Kasus ini juga menjadi pengingat pentingnya kehati-hatian dalam proses jual beli tanah serta perlunya koordinasi antara lembaga peradilan dan instansi terkait untuk menghindari kesalahan eksekusi yang merugikan masyarakat.
Kasus ini menarik perhatian Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid, yang turun tangan untuk menyelesaikan masalah yang berakar dari sengketa tanah sejak 1973. Konflik ini bermula ketika Djuju, pemilik tanah seluas 3,6 hektar, menjual tanahnya kepada Abdul Hamid pada 1976 melalui Akta Jual Beli (AJB). Namun, Hamid tidak segera melakukan balik nama, sehingga Djuju memanfaatkan celah ini untuk menjual tanah yang sama kepada Kayat. Kayat kemudian membalik nama tanah tersebut, dan terbitlah sertifikat atas namanya dengan nomor 705, 706, 704, dan 707.
Asmawati, Yeldi, dan Mursiti, yang menjadi korban penggusuran, menduduki lahan dengan SHM nomor 706 yang diterbitkan pada 1982. Sertifikat ini berasal dari Kayat, yang dianggap sebagai pemilik sah berdasarkan proses balik nama. Namun, Mimi Jamilah, ahli waris Abdul Hamid, menggugat Kayat dengan alasan bahwa AJB antara Djuju dan Abdul Hamid pada 1976 batal karena Djuju membatalkan transaksi sepihak setelah Hamid gagal melunasi pembayaran.
Pada 2019, Mimi mengajukan eksekusi pengosongan lahan berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Bekasi nomor 128/PDT.G/1996/PN.BKS tanggal 25 Maret 1997. Putusan ini mengabulkan gugatan Mimi sebagai ahli waris Abdul Hamid, yang mengklaim sebagai pemilik sah tanah induk. Namun, eksekusi yang dilakukan ternyata salah sasaran. Kelima rumah yang digusur justru berada di luar lahan yang disengketakan, yaitu SHM 706, yang berasal dari lahan induk seluas 3,6 hektar dengan sertifikat nomor 325.
Nusron Wahid menegaskan bahwa penggusuran ini tidak seharusnya terjadi karena kelima rumah tersebut berada di luar area sengketa. "Setelah kami cek, ini di luar tanah yang disengketakan. Pengadilan tidak melibatkan BPN Kabupaten Bekasi saat proses eksekusi, sehingga terjadi kesalahan," ujar Nusron, seperti dikutip dari Kompas.com, Jumat (7/2/2025). Ia juga menegaskan bahwa kepemilikan tanah oleh kelima korban masih sah karena belum ada perintah pengadilan untuk membatalkannya.
Kasus ini menyoroti kompleksitas sengketa tanah yang melibatkan banyak pihak dan rentang waktu puluhan tahun. Para korban penggusuran, yang telah membeli tanah dengan sertifikat sah, kini harus menghadapi kenyataan pahit kehilangan rumah mereka. Menteri Nusron berjanji akan menindaklanjuti kasus ini untuk memastikan keadilan bagi para korban dan mencegah kesalahan serupa di masa depan.
Sementara itu, masyarakat setempat berharap pemerintah dapat memberikan solusi yang adil dan transparan, terutama dalam menyelesaikan sengketa tanah yang melibatkan sertifikat sah. Kasus ini juga menjadi pengingat pentingnya kehati-hatian dalam proses jual beli tanah serta perlunya koordinasi antara lembaga peradilan dan instansi terkait untuk menghindari kesalahan eksekusi yang merugikan masyarakat.
(RED)