Jakarta, 23 Maret 2025 - Belum mereda rasa kekecewaan masyarakat atas pengesahan revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (TNI), perhatian publik kini tertuju kepada rencana revisi Undang-Undang Kepolisian (Polri). Keresahan ini mencuat terutama di media sosial, khususnya di platform X, di mana wacana mengenai RUU Polri yang dinilai problematik mulai beredar secara luas.
Materi Problematis RUU Polri
Beberapa pasal dalam RUU Polri menuai kritik tajam dari netizen. Di antara pasal-pasal yang dianggap mengancam privasi dan kebebasan berpendapat adalah Pasal 16 Ayat 1 Huruf (q), yang memberi wewenang pada Polri untuk melakukan pengamanan, pembinaan, dan pengawasan terhadap ruang siber. Kewenangan ini mencakup kemampuan untuk menindak, memblokir, dan memperlambat akses ke ruang siber demi alasan keamanan nasional.
Di samping itu, Pasal 16B RUU Polri mengatur perluasan kewenangan Intelijen Keamanan Polri, yang dinilai terlalu ambigu dalam mengidentifikasi kepentingan nasional. Ketidakjelasan ini berpotensi menjadi alat bagi Polri untuk mengawasi aktivitas warga yang bersuara kritis terhadap pemerintah.
Masih dalam kerangka yang sama, Pasal 14 Ayat (1) Huruf o juga menjadi sorotan. Pasal ini memberikan dasar hukum bagi Polri untuk melakukan penyadapan tanpa adanya regulasi jelas mengenai penyadapan itu sendiri, mengingat saat ini Indonesia belum memiliki aturan yang relevan.
Reaksi Masyarakat
Reaksi negatif terhadap RUU Polri tidak hanya terbatas pada unggahan penolakan di media sosial, tetapi juga menyerukan keterlibatan masyarakat dalam proses legislative yang dianggap tidak transparan. Banyak pihak yang menilai bahwa revisi ini berpotensi mengikis kebebasan sipil di Indonesia dan meningkatkan kesewenangan aparat.
Sikap skeptis publik terhadap RUU Polri mencerminkan keresahan mendalam akan arah kebijakan keamanan di Indonesia. Dalam konteks ini, penting bagi pemerintah untuk mendengarkan suara masyarakat dan memastikan transparansi dalam proses legislasi demi menjaga kepercayaan publik.
(RED)