Jakarta, 14 Maret 2025 - Komite Sekolah seharusnya berfungsi sebagai penghubung antara sekolah dan wali murid, bertujuan untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Namun, dalam praktiknya, banyak komite yang cenderung mendukung kebijakan yang diambil oleh pihak sekolah daripada memperjuangkan kepentingan orang tua siswa. Kondisi ini memunculkan pertanyaan besar mengenai integritas dan tujuan dari keberadaan komite tersebut.
Lebih jauh lagi, peran koordinator kelas yang tidak memiliki dasar hukum sering kali dimanfaatkan untuk mengoordinasikan pungutan dan kebijakan yang merugikan wali murid. Praktik seperti ini tidak hanya mencoreng reputasi dunia pendidikan, tetapi dapat pula berujung pada ancaman pidana, terutama terkait pungutan liar (pungli). Dalam hal ini, penting untuk menelusuri komitmen dan tanggung jawab komite sekolah apakah benar-benar menjunjung tinggi kepentingan masyarakat.
Idealnya, komite sekolah bertugas sebagai pengawas yang memberikan pertimbangan dan mendukung transparansi dalam kebijakan yang diambil. Akan tetapi, banyak di antara mereka yang berfungsi sebagai alat legitimasi untuk kebijakan sekolah, terutama terkait dengan pungutan atau sumbangan sukarela yang dalam kenyataan sering kali dituntut secara wajib. Hal ini mengakibatkan banyak wali murid merasa tertekan dengan adanya kewajiban untuk membayar “sumbangan” yang seolah tidak dapat ditolak.
Menurut Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) No. 75 Tahun 2016, komite sekolah dilarang melakukan pungutan yang bersifat wajib. Jika hal ini dilanggar, maka praktik tersebut dapat dikategorikan sebagai pungutan liar, yang tentunya memiliki konsekuensi hukum yang serius.
Dengan demikian, tantangan yang dihadapi oleh komite sekolah harus menjadi perhatian serius. Keterlibatan masyarakat dalam pendidikan sangatlah strategis dan seharusnya dipandang sebagai mitra, bukan sebagai pihak yang terbebani.
Lebih jauh lagi, peran koordinator kelas yang tidak memiliki dasar hukum sering kali dimanfaatkan untuk mengoordinasikan pungutan dan kebijakan yang merugikan wali murid. Praktik seperti ini tidak hanya mencoreng reputasi dunia pendidikan, tetapi dapat pula berujung pada ancaman pidana, terutama terkait pungutan liar (pungli). Dalam hal ini, penting untuk menelusuri komitmen dan tanggung jawab komite sekolah apakah benar-benar menjunjung tinggi kepentingan masyarakat.
Idealnya, komite sekolah bertugas sebagai pengawas yang memberikan pertimbangan dan mendukung transparansi dalam kebijakan yang diambil. Akan tetapi, banyak di antara mereka yang berfungsi sebagai alat legitimasi untuk kebijakan sekolah, terutama terkait dengan pungutan atau sumbangan sukarela yang dalam kenyataan sering kali dituntut secara wajib. Hal ini mengakibatkan banyak wali murid merasa tertekan dengan adanya kewajiban untuk membayar “sumbangan” yang seolah tidak dapat ditolak.
Menurut Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) No. 75 Tahun 2016, komite sekolah dilarang melakukan pungutan yang bersifat wajib. Jika hal ini dilanggar, maka praktik tersebut dapat dikategorikan sebagai pungutan liar, yang tentunya memiliki konsekuensi hukum yang serius.
Dengan demikian, tantangan yang dihadapi oleh komite sekolah harus menjadi perhatian serius. Keterlibatan masyarakat dalam pendidikan sangatlah strategis dan seharusnya dipandang sebagai mitra, bukan sebagai pihak yang terbebani.
(RED)